Ketika
Belanda bertekuk lutut dihadapan tentara Jepang, kemudian Jepang
dikalahkan Sekutu, maka Indonesia segera memproklamirkan kemerdekaan
pada 17 Agustus 1945. Tetapi para penjajah yang bergabung dalam tentara
Sekutu tidak rela negeri jajahan itu merdeka. Belanda yang masih babak
belur belum berani muncul, maka yang disuruh datang tentara bule dari
Inggris yang tidak rela melihat Indonesia merdeka. Bahkan mau menangkap
Soekarno Hatta sang Proklamator yang dianggapnya sebagai penajahat
perang. Aneh bukan. Sejak dulu hingga sekarang mereka menamai sesuatu
sesuai dengan keinginannya sendiri.
Melihat gelagat itu pemerintah Indonesia mempersiapkan beberapa kemungkinan. Saat tentara Inggris telah berdatangan di sekitar Jakarta yang hendak menangkap Soekarno–Hatta, keduanya segera mengungsi ke pedalaman. Anehnya Bung Karno tidak mengungsi di markas militer yang lengkap persenjaataannya, melainkan mengungsi ke pesantren Sukanegara di Cianjur. Rupanya sang Kiai pengasuh pesantren itu adalah teman lama Bung Karno, sehingga kehadirannya di sana di terima dengan tangan terbuka, tanpa sedikit rasa kaget, apalagi kehadirannya tanpa diiringi pengawal yang ketat, hanya diantar Hasjim Ning dan seorang ajudan.
Melihat gelagat itu pemerintah Indonesia mempersiapkan beberapa kemungkinan. Saat tentara Inggris telah berdatangan di sekitar Jakarta yang hendak menangkap Soekarno–Hatta, keduanya segera mengungsi ke pedalaman. Anehnya Bung Karno tidak mengungsi di markas militer yang lengkap persenjaataannya, melainkan mengungsi ke pesantren Sukanegara di Cianjur. Rupanya sang Kiai pengasuh pesantren itu adalah teman lama Bung Karno, sehingga kehadirannya di sana di terima dengan tangan terbuka, tanpa sedikit rasa kaget, apalagi kehadirannya tanpa diiringi pengawal yang ketat, hanya diantar Hasjim Ning dan seorang ajudan.
Tampaknya
dalam suasana revolusi, perlindungan rohani, dan penjagaan stamina
perlu dipertahankan terutama spirit perlawanan jauh lebih diutamakan
ketimbang sekadar persenjataan militer. Bagi Bung Karno revolusi tidak
hanya revolusi fisik, tetapi revolusi sosial, revolusi ekonomi baru
kemudia revolusi kebudayaan. dalam menjalankan program tersebut ia
membutuhkan stamina yang kuat. Oleh karena itu support moral seorang
ulama sangat diperlukan. Tak seorangpun tahu keberadaan Presidennya di
pengungsian itu, para intelijen PID-nya Belanda tak tahu, tidak pula
intelijen M-16 Inggris yang konon sangat jeli itu.
Seluruh
kebutuhan hidup Presiden itu ditanggung oleh Kiai, dan itu tidak
menyulitkan, sebab di sana semuanya tinggal mengambil sendiri di kebun,
berbagai macam ikan, pete, bahkan jengkol kesukaan Bung Karno tinggal
ambil di sana. Selain itu di luar musimpun durian kesukaan Sang
Proklamator itu bisa saja dicari di tanah itu, sehingga membuat Soekarno
betah. Kesetiaan para santri serta masyarakat pada Ajeungannya itu
membuat segala kebutuhan kiai untuk menjamu dan menjaga Presiden tidak
pernah menjadi masalah.
Oleh
karena itu ketika pengusaha Hasjim Ning hendak memberikan uang
sumbangan untuk bekal Bung Karno selama dalam pengungsian itu dengan
halus ditolak oleh Kiai, sebab kehadiran Soekarno semuanya ada dalam
tanggungan Kiai. Lagi pula tidak ada satu kebutuhanpun yang harus
dibeli, semuanya dicari dan dikasih oleh masyarakat. Kemudian Hasjim
Ning memberikan uang tersebut pada isteri Sang Kiai, dengan mmengatakan
bahwa uang ini tidak disumbangkan, hanya untuk jaga-jaga barang kali
nanti dibutuhkan Bung Karno. Dengan alasan itu akhirnya uang diterima
Ibu Nyai, sebagai uang titipan bukan untuk digunakan sendiri.
Di
tengah perkebunan teh yang sejuk tentu Bung Karno beserta keluarga
tidak merasa bosan, apalagi setiap bisa digunakan untuk mendalami
pengetahuan keagamaan sebab setiap saat bisa berdialog dengan Kiai yang
memiliki pengetahuan mendalam, seorang rohaniawan yang sangat dihormati
Bung Karno, sehingga di sana Bung Karno bisa mengisi kehausan
spiritualnya di bawah bimbingan seprang ulama yang alim. Sementara sang
ulama merasa sangat gembira, sebagaai seorang pelayan umat bisa
melindungi Presiden sang Proklamator yang sedang dalam kejaran penjajah,
sehingga semuanya dijalankan dengan suka rela, tanpa pamrih apapun,
disumbangpun tidak mau, sebab itu merasa sebagai kewajiaban ulama pada
Negara. Karena itu dalam keadaan apapun ulama pesantren tidak mau
memberontak baik melalui DI-TII maupu PRRI, sebab tindakan itu berarti
mengkhianati perjuangan sendiri.
Ternyata ulama tidak hanya memberi support moral, tetapi juga memberikan dukungan secara fisik. Terbukti kiai Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya mampu menggerakkan para santri dan masyarakat sehingga mampu mengalahkan pasukan Inggris di Surabaya pada tanggal 10 November 1946 yang bersejaraah itu. Menurut Pramoedya Ananta Toer itulah perang termegah dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, bagaimana sekelompok santri dengan senjata seadanya mampu mengalahkan Negara pemenang Perang Dunia kedua yakni Inggris. Karena adanya semangat perlawanan membara dari kaum santri yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari melalui resolusi Jihadnya itu.
Ternyata ulama tidak hanya memberi support moral, tetapi juga memberikan dukungan secara fisik. Terbukti kiai Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya mampu menggerakkan para santri dan masyarakat sehingga mampu mengalahkan pasukan Inggris di Surabaya pada tanggal 10 November 1946 yang bersejaraah itu. Menurut Pramoedya Ananta Toer itulah perang termegah dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, bagaimana sekelompok santri dengan senjata seadanya mampu mengalahkan Negara pemenang Perang Dunia kedua yakni Inggris. Karena adanya semangat perlawanan membara dari kaum santri yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari melalui resolusi Jihadnya itu.
Tetapi
sayang semuanya itu tidak tercatat dalam sejarah Indonesia, peran kaum
santri diabaikan, yang ada hanya peran tentara-tentara nasional,
terutama bekas prajurit KNIL yang selama ini turut menjajah rakyat
Indonesia. (Sumber: http://rivafauziah.wordpress.com)
Lapangan Futsal SMP ISLAM CENDEKIA CIANJUR (SICC) |
0 komentar:
Posting Komentar